Posted on Leave a comment

Langkah yang Tertahan (Bagian 2) Cerpen

Langkah yang Tertahan (Bagian 2)

Pagi di Jakarta datang seperti biasa, dengan hiruk-pikuk kendaraan dan riuh suara manusia yang berlomba mengejar waktu. Dina, dengan semangat yang dipaksakan, bergegas menuju kantornya. Langkah-langkahnya terasa berat, tapi ia tahu tidak ada pilihan lain. Di meja kecil tempatnya bekerja, ia membuka email, berharap ada kabar baik, seperti kenaikan gaji atau bonus. Namun, kotak masuknya hanya berisi pekerjaan baru yang menumpuk.

Saat makan siang, Dina duduk sendirian di pojok kantin kantor. Ia membuka media sosial, melihat foto-foto teman-temannya yang telah pulang kampung, bercengkerama dengan keluarga. Hatinya kembali terasa sesak. Sambil menahan air mata, ia mengetik pesan kepada ibunya. “Bu, Dina rindu sekali. Kalau ada rezeki lebih, Dina akan pulang secepatnya.”

Pesan itu terkirim, tapi balasannya datang lebih cepat dari yang ia duga. “Tidak apa-apa, Nak. Jangan khawatirkan Ibu. Yang penting, kamu sehat dan kuat di sana.” Kata-kata itu hangat, tapi justru semakin membuat Dina merasa bersalah. Ia tahu ibunya hanya berusaha menguatkan, padahal hatinya juga pasti sama rindu.

Hari-hari berlalu, dan rindu itu semakin menjadi. Dina mencoba mengalihkan perasaan itu dengan bekerja lebih keras, mengambil lembur, bahkan mencari pekerjaan sampingan. Ia mulai menawarkan jasa mengetik dokumen untuk rekan-rekannya, berharap bisa menambah sedikit tabungan. Namun, meski pendapatannya bertambah, rasanya waktu berjalan terlalu lambat.

Hingga suatu hari, rezeki datang dengan cara yang tak terduga. Bosnya memanggil Dina ke ruangan. Dina berjalan dengan gugup, berpikir bahwa mungkin ia telah melakukan kesalahan. Namun, yang ia temui adalah senyuman dari bosnya.

“Dina, kerja kerasmu selama ini luar biasa. Kami ingin memberikanmu penghargaan kecil, sebuah bonus akhir tahun. Semoga ini bisa membantumu,” kata bosnya sambil menyerahkan amplop kecil.

Dina terkejut. Tangan gemetar saat ia menerima amplop itu. Setelah keluar dari ruangan, ia membukanya perlahan. Isinya cukup untuk membayar ongkos pulang pergi ke kampung halaman dan masih ada sisa untuk keperluan lainnya. Air matanya hampir tumpah, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena bahagia.

Malam itu, Dina duduk di kamarnya yang sempit. Dengan penuh haru, ia menelpon ibunya. “Bu, Dina akan pulang. Minggu depan, tunggu Dina di rumah, ya.” Suaranya bergetar menahan tangis. Dari seberang telepon, suara ibunya terdengar penuh kebahagiaan, “Alhamdulillah, Nak. Ibu dan bapak tidak sabar menunggumu.”

Hari yang dinanti pun tiba. Di stasiun, Dina membawa tas kecil berisi oleh-oleh sederhana untuk keluarganya. Saat kereta mulai bergerak, ia memandang ke luar jendela, melihat gemerlap kota yang selama ini menjadi saksi perjuangannya. Namun, kali ini hatinya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia tidak merasa sendirian.

Jakarta tetap kota yang penuh tantangan, tapi akhirnya, langkah yang tertahan itu telah menemukan jalannya untuk pulang.

Tinggalkan Balasan