Posted on Leave a comment

Langkah yang Tertahan (Bagian 3)-Cerpen

Langkah yang Tertahan (Bagian 3)

Kereta melaju pelan menuju kampung halaman. Dina memandang keluar jendela, menikmati perubahan pemandangan dari gedung-gedung menjulang ke sawah-sawah hijau yang sejuk. Hatinya terasa ringan, meski perasaan gugup sedikit menggelayut. Dua tahun bukan waktu yang singkat, dan ia bertanya-tanya apakah semuanya masih sama seperti yang ia tinggalkan.

Di kursi sebelah, seorang pria paruh baya duduk dengan senyum ramah. Ia mengenakan topi lusuh dan membawa sebuah koper kecil. Ketika kereta berhenti sebentar di sebuah stasiun kecil, pria itu memulai percakapan.

“Pulang ke kampung, Nak?” tanyanya sambil membenahi posisi duduknya.

“Iya, Pak,” jawab Dina sambil tersenyum tipis. “Akhirnya bisa pulang setelah dua tahun.”

Pria itu mengangguk pelan, matanya tampak menerawang. “Saya juga, Nak. Pulang setelah lima tahun. Anak-anak di kampung pasti sudah besar sekarang.”

Dina tersentak. Lima tahun terdengar seperti waktu yang luar biasa lama. Ia pun penasaran. “Bapak kerja di mana selama ini?”

“Saya jadi kuli bangunan di Jakarta. Pulang-pulang ini, semoga bisa bawa sedikit kebahagiaan buat keluarga. Kadang, rindu itu yang bikin kita terus bertahan.”

Kata-kata pria itu menusuk hati Dina. Ia merasa ada persamaan di antara mereka, sama-sama berjuang di tengah kerasnya kehidupan kota demi sesuatu yang mereka rindukan. Sepanjang perjalanan, mereka berbagi cerita. Dina menceritakan perjuangannya bekerja di kantor kecil, sementara pria itu berbicara tentang proyek-proyek bangunan yang ia kerjakan meski tubuhnya semakin tua dan lemah.

Di tengah percakapan, Dina mendapati bahwa pria itu tidak hanya bijaksana, tetapi juga sangat peduli. Ketika ia mengeluhkan keraguannya—tentang bagaimana keluarga akan menyambutnya—pria itu memberikan nasihat. “Keluarga itu seperti tanah, Nak. Sejauh apa pun kita pergi, mereka selalu siap menerima kita kembali. Jangan ragu, pulanglah dengan hati penuh cinta.”

Kereta akhirnya tiba di stasiun tujuan. Dina membantu pria itu mengangkat kopernya. Mereka berpisah di gerbang stasiun, masing-masing berjalan menuju keluarga yang telah lama dirindukan.

Saat Dina sampai di rumah, ia disambut dengan pelukan hangat dari ibunya dan suara riang dari adiknya. Rasa rindu yang terpendam selama ini pecah menjadi kebahagiaan. Ketika malam tiba, Dina tak sengaja melihat foto keluarga pria tadi di media sosial. Rupanya, pria itu adalah ayah dari salah satu teman sekolahnya dulu.

Hari berikutnya, Dina memutuskan untuk mengunjungi rumah pria tersebut. Ketika ia tiba, ia melihat pria itu sedang bermain dengan cucunya di halaman rumah yang sederhana. Wajahnya terlihat jauh lebih cerah daripada saat mereka bertemu di kereta.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih, Pak,” kata Dina dengan tulus. “Nasihat Bapak di kereta benar-benar menguatkan saya.”

Pria itu tertawa kecil. “Kamu juga sudah mengingatkan saya, Nak. Bahwa pulang, bagaimanapun caranya, selalu membawa kebahagiaan.”

Dina pulang dengan hati penuh rasa syukur. Pertemuannya dengan pria itu tidak hanya memberi pelajaran hidup, tetapi juga membuka matanya bahwa perjuangan setiap orang adalah unik. Di tengah kota yang penuh tantangan, ia menemukan bahwa berbagi cerita adalah cara untuk saling menguatkan.

Langkah yang tertahan kini telah menemukan jalannya, tidak hanya untuk Dina, tetapi juga untuk pria itu. Pulang bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang hati yang kembali dipenuhi cinta dan kedamaian.

Tinggalkan Balasan