Posted on Leave a comment

Langkah yang Tertahan (Bagian 4)-Cerpen

Langkah yang Tertahan (Bagian 4)

Dina merapikan gaunnya sambil melangkah menyusuri jalanan kampung yang kini lebih ramai dibanding dua tahun lalu. Udara desa yang segar membuatnya merasa seperti dihidupkan kembali. Di rumah, ibunya sudah sibuk mempersiapkan makan malam besar untuk menyambutnya pulang. Namun, sebelum kembali ke rumah, Dina ingin berjalan-jalan sebentar ke tempat yang sering ia kunjungi saat masih kecil: sebuah lapangan kecil di ujung desa.

Sesampainya di sana, Dina mendapati seorang anak laki-laki, kira-kira berusia 10 tahun, duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga. Bocah itu memegang layang-layang rusak, dengan tali yang kusut di tangannya.

“Kak, bisa bantu aku?” tanya anak itu tiba-tiba, suaranya penuh harap.

Dina tersenyum dan menghampirinya. “Apa yang terjadi dengan layang-layangmu?”

“Tadi jatuh di pohon. Aku tarik terlalu kuat, jadi putus,” jawabnya, wajahnya tampak sedih.

Dengan cekatan, Dina membantu anak itu memperbaiki layang-layangnya. Selagi mereka bekerja, bocah itu memperkenalkan dirinya sebagai Raka. Ia bercerita bahwa ibunya bekerja sebagai pedagang di pasar dan ia sering bermain di sini sendirian sambil menunggu ibunya pulang.

“Ayahmu di mana?” tanya Dina hati-hati.

Raka menggeleng. “Ayah sudah meninggal waktu aku masih kecil. Jadi sekarang aku cuma punya Ibu.”

Hati Dina tersentuh mendengar cerita Raka. Bocah itu mengingatkannya pada dirinya sendiri yang pernah merasa kehilangan saat ayahnya meninggal bertahun-tahun lalu. Ia tahu betapa beratnya hidup tanpa figur ayah, terutama di usia muda.

“Raka, kamu tahu nggak, layang-layang itu nggak akan terbang kalau nggak ada angin yang membantu?” kata Dina sambil mengikat tali layang-layang itu dengan rapi.

Raka mengangguk. “Iya, Kak. Tapi aku nggak tahu anginnya datang dari mana.”

“Angin itu seperti orang-orang yang mendukung kita diam-diam. Kamu mungkin nggak melihatnya, tapi mereka selalu ada di belakangmu,” jawab Dina dengan lembut.

Mata Raka berbinar, seolah kata-kata Dina menyentuh hatinya. Setelah layang-layang selesai diperbaiki, Raka berlari ke lapangan, mencoba menerbangkannya. Kali ini, layang-layang itu melayang tinggi, mengiringi sorakan bahagia dari Raka. Dina hanya bisa tersenyum puas melihat kebahagiaan kecil itu.

Pertemuan dengan Seseorang dari Masa Lalu

Saat Dina hendak pulang, ia mendengar suara yang sangat familiar. “Dina? Kamu sudah kembali?”

Dina menoleh, dan di sana berdiri Rahman, sahabat lamanya dari SMA. Rahman kini tampak lebih dewasa, dengan rambut sedikit lebih pendek dan kemeja sederhana. Mereka saling menyapa dengan kehangatan yang hanya dimiliki oleh teman-teman lama.

“Kamu berubah banyak, Rahman,” kata Dina sambil tersenyum.

Rahman tertawa kecil. “Kamu juga, Dina. Aku dengar kamu kerja di Jakarta. Berat ya?”

Dina mengangguk. “Berat, tapi aku belajar banyak. Sekarang, aku ingin meluangkan waktu untuk keluarga dulu. Aku sadar, rindu itu lebih menyakitkan daripada kesibukan apa pun.”

Rahman mengangguk setuju. Ia kemudian mengundang Dina untuk bergabung dengan komunitas sosial yang ia bentuk di desa. “Kami sedang berusaha membantu anak-anak seperti Raka, supaya mereka punya tempat belajar dan bermain yang aman. Aku yakin pengalamanmu di Jakarta bisa banyak membantu.”

Dina terdiam sesaat, terharu mendengar ajakan itu. Rahman selalu punya hati yang besar untuk orang lain, dan Dina merasa ini adalah kesempatan baginya untuk memberikan sesuatu kembali kepada desa.

Sebuah Awal Baru

Malam itu, di tengah kehangatan makan malam bersama keluarga, Dina memutuskan untuk mengambil langkah baru. Ia akan tinggal lebih lama di desa, membantu komunitas Rahman, dan mencari cara untuk membuat hidup anak-anak seperti Raka menjadi lebih baik.

Langkah yang tertahan kini menemukan arah baru. Dina belajar bahwa pulang tidak hanya tentang kembali ke tempat yang dikenal, tetapi juga tentang memberikan arti baru pada kehadiran. Di setiap orang yang ia temui—Raka, Rahman, dan keluarganya—ia menemukan potongan-potongan cinta dan harapan yang membantunya menyusun hidup kembali.

Kisah ini tidak hanya tentang Dina yang akhirnya pulang, tetapi juga tentang bagaimana ia menemukan tujuan baru dalam hidupnya, di tempat yang selalu ia rindukan.

Posted on Leave a comment

Langkah yang Tertahan (Bagian 3)-Cerpen

Langkah yang Tertahan (Bagian 3)

Kereta melaju pelan menuju kampung halaman. Dina memandang keluar jendela, menikmati perubahan pemandangan dari gedung-gedung menjulang ke sawah-sawah hijau yang sejuk. Hatinya terasa ringan, meski perasaan gugup sedikit menggelayut. Dua tahun bukan waktu yang singkat, dan ia bertanya-tanya apakah semuanya masih sama seperti yang ia tinggalkan.

Di kursi sebelah, seorang pria paruh baya duduk dengan senyum ramah. Ia mengenakan topi lusuh dan membawa sebuah koper kecil. Ketika kereta berhenti sebentar di sebuah stasiun kecil, pria itu memulai percakapan.

“Pulang ke kampung, Nak?” tanyanya sambil membenahi posisi duduknya.

“Iya, Pak,” jawab Dina sambil tersenyum tipis. “Akhirnya bisa pulang setelah dua tahun.”

Pria itu mengangguk pelan, matanya tampak menerawang. “Saya juga, Nak. Pulang setelah lima tahun. Anak-anak di kampung pasti sudah besar sekarang.”

Dina tersentak. Lima tahun terdengar seperti waktu yang luar biasa lama. Ia pun penasaran. “Bapak kerja di mana selama ini?”

“Saya jadi kuli bangunan di Jakarta. Pulang-pulang ini, semoga bisa bawa sedikit kebahagiaan buat keluarga. Kadang, rindu itu yang bikin kita terus bertahan.”

Kata-kata pria itu menusuk hati Dina. Ia merasa ada persamaan di antara mereka, sama-sama berjuang di tengah kerasnya kehidupan kota demi sesuatu yang mereka rindukan. Sepanjang perjalanan, mereka berbagi cerita. Dina menceritakan perjuangannya bekerja di kantor kecil, sementara pria itu berbicara tentang proyek-proyek bangunan yang ia kerjakan meski tubuhnya semakin tua dan lemah.

Di tengah percakapan, Dina mendapati bahwa pria itu tidak hanya bijaksana, tetapi juga sangat peduli. Ketika ia mengeluhkan keraguannya—tentang bagaimana keluarga akan menyambutnya—pria itu memberikan nasihat. “Keluarga itu seperti tanah, Nak. Sejauh apa pun kita pergi, mereka selalu siap menerima kita kembali. Jangan ragu, pulanglah dengan hati penuh cinta.”

Kereta akhirnya tiba di stasiun tujuan. Dina membantu pria itu mengangkat kopernya. Mereka berpisah di gerbang stasiun, masing-masing berjalan menuju keluarga yang telah lama dirindukan.

Saat Dina sampai di rumah, ia disambut dengan pelukan hangat dari ibunya dan suara riang dari adiknya. Rasa rindu yang terpendam selama ini pecah menjadi kebahagiaan. Ketika malam tiba, Dina tak sengaja melihat foto keluarga pria tadi di media sosial. Rupanya, pria itu adalah ayah dari salah satu teman sekolahnya dulu.

Hari berikutnya, Dina memutuskan untuk mengunjungi rumah pria tersebut. Ketika ia tiba, ia melihat pria itu sedang bermain dengan cucunya di halaman rumah yang sederhana. Wajahnya terlihat jauh lebih cerah daripada saat mereka bertemu di kereta.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih, Pak,” kata Dina dengan tulus. “Nasihat Bapak di kereta benar-benar menguatkan saya.”

Pria itu tertawa kecil. “Kamu juga sudah mengingatkan saya, Nak. Bahwa pulang, bagaimanapun caranya, selalu membawa kebahagiaan.”

Dina pulang dengan hati penuh rasa syukur. Pertemuannya dengan pria itu tidak hanya memberi pelajaran hidup, tetapi juga membuka matanya bahwa perjuangan setiap orang adalah unik. Di tengah kota yang penuh tantangan, ia menemukan bahwa berbagi cerita adalah cara untuk saling menguatkan.

Langkah yang tertahan kini telah menemukan jalannya, tidak hanya untuk Dina, tetapi juga untuk pria itu. Pulang bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang hati yang kembali dipenuhi cinta dan kedamaian.