Langkah yang Tertahan
Dina duduk di pinggir trotoar, menggenggam segelas kopi dari warung kecil di sudut jalan. Malam itu, Jakarta begitu ramai. Lampu kendaraan membentuk garis panjang yang berkilauan seperti untaian bintang, tetapi hatinya hampa. Di tangan kirinya, selembar foto keluarganya terlihat lusuh, sudah sering dia genggam setiap kali rindu tak tertahankan.
Dia ingat rumah kecil di kampung halamannya, sebuah desa yang dikelilingi hamparan sawah. Dulu, hidup terasa sederhana. Pagi-pagi ia membantu ibunya menyiapkan sarapan, sementara bapaknya mempersiapkan cangkul untuk ke ladang. Di desa itu, waktu berjalan lambat, tapi penuh kebahagiaan.
Namun, tuntutan hidup membawa Dina ke Jakarta. Ia datang dengan segudang harapan, mengadu nasib di kota besar. Awalnya, bekerja sebagai asisten administrasi di sebuah kantor kecil cukup membahagiakan. Dina menyisihkan sebagian gajinya untuk keluarga di kampung. Tapi hidup di Jakarta tak pernah murah. Setiap bulan, uang sewa kos, makan, dan transportasi menggerogoti gajinya hingga tersisa sedikit.
Sudah dua tahun sejak terakhir kali Dina pulang ke kampung halamannya. Setiap kali telepon dari ibu datang, hatinya terasa teriris. “Kapan pulang, Nak? Ibu dan bapak rindu,” suara itu selalu penuh harap. Dina selalu menjawab dengan suara yang ia coba buat ceria, “Nanti, Bu. Kalau Dina sudah ada rezeki lebih.” Padahal, kenyataan sering kali tak seindah janji.
Malam itu, Dina memandangi foto keluarganya lagi. Di sana, ada senyuman bapaknya yang hangat dan adiknya yang masih kecil, berdiri di depan rumah mereka yang sederhana. Matanya mulai basah. Rindu itu semakin menghimpit, tapi ongkos pulang terlalu mahal.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya masuk:
“Ibu masak sayur lodeh kesukaanmu hari ini. Kalau kamu ada di sini, pasti Ibu tambah sambalnya.”
Dina menutup matanya, menahan air mata yang ingin jatuh. Dia bisa membayangkan dapur kecil mereka, aroma sayur lodeh, dan suara ibunya yang memanggil. Namun, saat ia membuka mata, suara klakson kendaraan dan gemerlap lampu kota mengingatkannya pada kenyataan.
Ia berdiri, memasukkan foto ke dalam tas, dan menarik napas panjang. “Aku pasti pulang, Bu. Tidak sekarang, tapi aku pasti pulang,” katanya dalam hati. Dengan langkah kecil, ia berjalan menuju kosannya, membawa rindu yang akan terus menguatkan semangatnya untuk bertahan.
Malam itu, Dina kembali pada pekerjaannya di kota. Tetapi di sudut hatinya, kampung halaman tetap menjadi rumah sejati yang akan selalu menantinya pulang.