Posted on Leave a comment

Langkah yang Tertahan (Bagian 5)-Cerpen

Langkah yang Tertahan (Bagian 5)

Hari itu Dina memutuskan untuk mengunjungi komunitas belajar yang dikelola Rahman. Ia ingin melihat bagaimana anak-anak desa yang penuh semangat itu belajar dan bermain. Dina membawa beberapa buku yang pernah ia beli di Jakarta—buku-buku cerita dan ensiklopedia sederhana, berharap ini bisa menjadi tambahan yang bermanfaat untuk komunitas tersebut.

Ketika Dina tiba, ia disambut oleh suara gelak tawa anak-anak yang sedang bermain di halaman. Di tengah kerumunan, seorang perempuan paruh baya dengan senyum lembut memperhatikan anak-anak sambil memegang catatan. Rahman memperkenalkan perempuan itu sebagai Bu Nani, seorang mantan guru yang kini mengabdikan waktunya untuk mendampingi anak-anak di desa.

“Bu Nani adalah alasan komunitas ini bisa berjalan dengan baik. Beliau yang mengajarkan kami pentingnya pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menyentuh hati,” jelas Rahman.

Dina merasa terinspirasi oleh sosok Bu Nani. Perempuan itu tampak sederhana, dengan kerudung cokelat dan mata yang memancarkan kebijaksanaan. Dina mendekati Bu Nani dan mulai berbincang.

“Bu, apa yang membuat Ibu mau mengabdikan diri di sini?” tanya Dina.

Bu Nani tersenyum lembut. “Dulu, saya sempat mengajar di kota besar. Tapi saya merasa ada yang hilang. Di sini, saya menemukan kebahagiaan saat melihat anak-anak tersenyum hanya karena hal-hal kecil. Pendidikan tidak selalu soal gedung megah, Dina. Kadang, yang mereka butuhkan hanyalah perhatian.”

Pertemuan dengan Rangga

Saat berbicara, seorang pria muda muncul dengan membawa setumpuk buku. Ia memakai kemeja putih sederhana dengan lengan yang digulung, memperlihatkan tangan yang kuat namun penuh coretan tinta. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Rangga, seorang penulis yang baru pindah ke desa untuk mencari inspirasi.

“Saya dengar tentang komunitas ini dari Rahman, jadi saya pikir, kenapa tidak mencoba berbagi?” kata Rangga sambil tersenyum.

Dina tertarik dengan kehadiran Rangga. Mereka berdua segera terlibat dalam diskusi panjang tentang buku dan cerita. Rangga bercerita bahwa ia sedang menulis novel tentang kehidupan desa, dan komunitas ini memberinya banyak ide.

“Kadang, inspirasi datang dari hal-hal sederhana. Seperti anak-anak ini, atau pohon mangga di lapangan itu,” ucap Rangga, menunjuk pohon mangga tempat Dina dulu duduk bersama Raka.

Dina merasa ada kesamaan antara dirinya dan Rangga. Keduanya adalah perantau, meskipun dengan perjalanan yang berbeda, dan keduanya sedang mencari tujuan baru dalam hidup.

Kebahagiaan yang Tertanam

Hari-hari Dina kini diisi dengan membantu komunitas belajar. Ia mengajarkan anak-anak cara membaca, menulis, dan bahkan berbagi cerita tentang kehidupannya di Jakarta. Kehadiran Rangga membuat suasana semakin hidup; ia sering mengadakan sesi mendongeng yang membuat anak-anak tertawa dan terinspirasi.

Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam, Dina, Rahman, Bu Nani, dan Rangga duduk bersama di bawah pohon mangga. Mereka berbincang tentang mimpi-mimpi mereka untuk desa ini.

“Bayangkan jika desa ini punya perpustakaan kecil,” ujar Rangga dengan semangat.

“Mungkin tidak hanya perpustakaan, tapi juga ruang kreatif untuk anak-anak,” tambah Dina.

Bu Nani mengangguk setuju. “Itu impian yang indah. Tapi, semua itu butuh waktu dan usaha bersama.”

Dari obrolan sederhana itu, lahirlah rencana untuk membangun ruang belajar yang lebih besar dan lengkap. Dina merasa ini adalah langkah yang ia cari selama ini—bukan hanya pulang, tetapi menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Momen Haru

Pada malam yang tenang, Dina berbicara dengan ibunya. Ia menceritakan tentang komunitas, anak-anak, dan rencananya untuk tetap tinggal lebih lama.

“Ibu selalu tahu kamu akan menemukan sesuatu di sini,” kata ibunya sambil memegang tangan Dina. “Kampung ini selalu menunggumu pulang, bukan hanya untuk kembali, tapi untuk memberi.”

Dina terharu mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kepulangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Di kampung ini, ia tidak hanya menemukan rumah, tetapi juga arti dari hidup yang penuh makna.

Akhir yang Baru

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kerja keras dan kebahagiaan. Dengan bantuan Rahman, Bu Nani, dan Rangga, komunitas belajar berkembang menjadi tempat yang lebih hidup. Anak-anak datang tidak hanya untuk belajar, tetapi juga untuk bermimpi.

Dina kini tahu bahwa langkah yang tertahan itu membawa dirinya ke tempat yang benar. Di setiap tawa anak-anak, di setiap cerita yang Rangga tulis, dan di setiap dukungan yang ia berikan, Dina merasa langkahnya akhirnya telah menemukan tujuan.

Tinggalkan Balasan